Ads 468x60px

Spain Dutch Russian Japanese Korean Arabic Chinese Simplified English

wibiya widget

Sabtu, 21 April 2012

Kartini Berjuang Tanpa Senjata


RA Kartini. (Foto: Wikipedia)
RA Kartini. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA - Hari ini, bertepatan dengan hari lahir Kartini. Dia adalah sosok ikon feminisme yang menjadi tonggak wacana gender di Indonesia.

Raden Adjeng Kartini, demikian nama aslinya, merupakan tokoh pendobrak budaya feodal yang kental dengan nuansa patriaki. Anak dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara ini menginginkan agar wanita Indonesia bisa memiliki kemajuan berpikir perempuan Eropa. Keinginannya menggebu untuk memajukan perempuan pribumi, yang dinilainya berstatus sosial rendah.

Berkat pendidikan di Europese Lagere School (ELS), dia mampu menguasai bahasa Belanda dan menjadi gemar membaca suratkabar dan majalah dari Negeri Kincir Angin. Di sinilah dia semakin mendapat inspirasi mengenai emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Dia dijodohkan oleh orangtuanya, dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kartini pun akhirnya menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini bukanlah istri pertama, melainkan istri keempat. Sebab, suaminya itu sudah memiliki tiga istri.

Untungnya sang suami mengerti keinginan Kartini untuk memajukan kaum wanita. Dia diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah khusus wanita. Sekolah itu dibangun di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.

Namun sayangnya, Kartini menghembuskan napas terakhirnya empat hari setelah anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Kartini meninggal menutup usia pada 25 tahun. Jasadnya dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Kendati Kartini sudah wafat, namun sekolah wanita itu tetap berjalan dikelola oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912. Seperti disitat Wikipedia, Sabtu (21/4/2012), yayasan ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Pada tahun-tahun selanjutnya sekolah itu justru meluas hingga ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".

Pemikiran Kartini, baik melalui surat-suratnya atau tulisannya kemudian dikumpulkan dan dijadikan buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Karena pemikirannya tersebut, dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Meksi berjuang tanpa senjata, namun senjata bagi Kartini adalah mendobrak dogma, menjadi titik awal emansipasi wanita pada masa feodal.

Boleh saja Kartini telah tiada, namun nama dan semangatnya masih tetap hidup hingga dewasa ini. Bahkan, gerakan kesetaraan gender masih terus diperjuangankan baik oleh LSM atau aktivis di Tanah Air.

Bertepatan dengan Hari Kartini, Okezone akan mengulas sejumlah profil wanita yang berhasil mengaktualisasikan diri di belantika pemerintahan, maupun berkiprah sebagai pengusaha sukses. Mereka mampu menunjukan prestasinya dengan gemilang. Siapa sajakah mereka? Okezone akan menyajikannya dalam sebuah artikel hasil wawancara khusus secara berkala pada hari ini.

Namun, sebelum profil dan kisah para wanita tangguh ini diunggah, Okezone juga akan mengulas kondisi terkini peran wanita di Indonesia, melalui wawancara khusus dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwono X. (wdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda, Mari Bersama Berbagi Hal Yang Berguna...., Tambahkan Saya Sebagai Teman di Facebook KILK DI SINI Follow Me in Twitter KILK DI SINI